Senin, 02 Maret 2009

Maaf Yang Terlewat

Koran-koran bekas, buku-buku bekas, kardus-kardus tak terpakai, besi-besi berkarat menjadi pemandangan yang harus dibuat menarik oleh mataku. Ditambah lagi tumpukan gelas-gelas bekas air mineral sekarung yang tadi di bawa oleh seorang ibu belum sempat kubereskan. Ah, apakah seperti itu wajah ibuku? Aku tidak ingat. Samar ku ingat wajah ibu. Jelas ku ingat kejadian malam itu.

♣♣♣

“Kenapa pergi dengan suami orang ha?”. Bapak membentak ibu sangat kasar, matanya terbelalak, minuman yang ia minum dari botol ditangannya mempengaruhi pikirannya. Tangan kanannya ia angkat mendekati wajah ibu.

“PLAKK”!!!!. Tangan itu tepat mengenai wajah ibu.

Nggak mas, aku tak sengaja bertemu di jalan dan kemudian mas tarto membantu mengantarku periksa kandungan ke puskesmas”. Ibu menangis membela diri

“Kenapa tidak memintaku mengantar ha?”. Bapak semakin berteriak.

“PLAKK”!!!!. Kembali tangannya mendarat di wajah ibu. Kulihat darah mulai keluar dari hidung ibu.

“Mas tadi siang tak ada dirumah.” Ibu terlihat semakin takut.

Aku hanya bisa menangis ketakutan melihat mereka bertengkar, bapak semakin menyeramkan.

“Aku ini suamimu. Apa kau malu punya suami seperti aku??”

“PLAKK”!!!

“PRANNNGGG”!!! Badan ibu mengenai tumpukan piring yang belum sempat tercuci. Ia tersungkur, tak sadarkan diri. Darah mengalir dari kedua pahanya.

Aku hanya bisa menangis, memanggilnya.

“Ko, Joko, cepat kemari bantu abah membereskan ini!.” Panggilan abah yang selama ini menjadi pengganti bapakku mengagetkanku.

“Iya bah”. Cepat aku mendekatinya.

“Ada apa bah?” Tanyaku setelah mendekat.

“Ini bereskan! Pisahkan ya, plastik dengan plastik, besi dengan besi!”. Ia menunjuk setumpuk benda yang seharusnya tak layak pakai itu, tetapi jika di daur ulang benda-benda itu akan dapat digunakan kembali. Sudah hampir 30 tahun abah menerima dan menampung hasil-hasil kaisan para pemulung.

Aku duduk dan mulai memilah benda-benda itu.

“Kapan kau akan menjenguk bapakmu lagi?” Tanya abah.

“Belum tahu bah”. Jawabku enteng.

“Bulan depan ia akan keluar bukan? Kalau abah tak salah bulan depan juga usiamu menginjak ketiga belas. Kau pasti senang”. Tanya abah lagi.

“Entahlah, mungkin saja. Angka sial”. Jawabku sekenanya. Aku tak tahu perasaanku seperti apa. Antara senang dan benci. Senang karena bapakku akhirnya akan kembali bersamaku dan aku tidak perlu lelah membanting tulang untuk sesuap nasi pengganjal perutku. Benci karena aku akan bersama dengan orang yang sudah membuatku takkan bisa bertemu dengan ibuku kembali.

“Lho..lho.. memangnya kenapa? Walaupun begitu ia tetap bapakmu, orangtuamu. Maafkanlah semua kesalahannya. Allah saja memberikan ampunan kepada hambanya jika hambanya itu bertaubat dengan sungguh-sungguh. Kau pun sebagai manusia harus bisa memberi maaf kepada orang-orang yang telah mendzolimi dirimu”. Abah menasehatiku.

“Aku pergi dulu bah”. Jawabku sembari meninggalkan pekerjaan yang belum selesai.

“Joko!!! Kau ini kenapa?? Mau kemana??” Tanyanya.

“Ke rumah Udin sebentar, sebelum maghrib aku sudah pulang”. Jawabku berteriak.

♣♣♣

Besok bapakku akan keluar dari penjara yang sudah mengurungnya selama tujuh tahun. Semalam aku mengambil seluruh tabunganku di abah. Beberapa uang puluhan ribu akan ku pakai untuk membelikan bapak sarung sebagai hadiah atas kembalinya ia menghirup kebebasan. Rupanya aku masih perhatian juga padanya. Aku tersenyum dalam hati. “Aku tidak tahu pak, bisa atau tidak aku memaafkanmu”. Kataku dalam hati.

Sampai di rumah kubungkus dengan rapi sarung yang ku beli itu. Kuselipkan surat didalamnya yang berisi tulisan bahwa aku belum siap bertemu dengan bapakku saat ini. Aku masih mengingat jelas apa yang terjadi malam itu.

Kutitip abah bingkisan sarung untuk bapak. Abahlah yang akan menjemput bapak pulang. Ku bilang pada abah aku akan menyambutnya di rumah saja. Abah sedikit kecewa karena aku tak turut serta menjemput bapak, tetapi kemudian ia mengizinkanku untuk menyambut bapak di rumah saja.

♣♣♣

Maafkan aku bapak, yang belum bisa memaafkanmu. Maafkan aku abah belum bisa membalas semua kebaikan abah. Tiga hari terakhir kemarin kubulatkan tekadku untuk menjauh dari kalian selama beberapa waktu. Aku pergi. Jika rasa sakit di hati ini hilang, baru aku akan menemui kalian. Ampuni aku Rabb..

Padangcermin, Februari 2009

2 komentar:

  1. cerpen bagus, simple tapi mengesankan.

    BalasHapus
  2. Makasih ya rash... jadi semangat nie tuk terus bikin cerpen juga karya-karya yang lain..

    BalasHapus